Penulispanjatkan doa, semoga bantuan dan ketulusan yang telah diberikan,. Silsilah tarekat naqsyabandiyah di desa sungai ruan. Dan bukanlah silsilah anda turun daripadanya, melainkan dari guru mursyid yang meninggal tadi. Bagaimana status saya sebagai murit tarikat naqsabandiyah. Dan beliau juga adalah selaku mursyid thariqat . SilsilahTarekat Naqsyabandiyah secara lengkap sebagai berikut: (H.A. Fuad Said, Hakikat Tarikat Naqsyabandiyah, Pustaka Al Husna Baru, Jakarta 2005, halaman: 39). Rasulullah SAW. Abu Bakar al-Shiddiq RA; Salmân al-Farisi; Qâsim bin Muhammad; Imam Ja'far al-Shâdiq; Abu Yazid al-Busthami; Abû Hasan Ali bin Ja'far al-Kharqani TarekatQadiriah Naqsyabandiah (TQN) terhitung sebagai salah satu tarekat dengan jumlah pengikut yang banyak dan peta persebaran yang luas di kawasan kepulauan Nusantara. TQN diinisiasi pada pertengahan abad ke-19 M oleh Syekh Ahmad Khatib Sambas (w. 1875), seorang ulama sufi asal Nusantara yang berkedudukan di Makkah. Beberapatarekat yang berkembang di Minangkabau yang sangat mendominasi adalah Tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Selain memiliki tradisi sanad keilmuan, ternyata Tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah juga memiliki tradisi ijazahan sebagi bukti otentik atas legitimasi seorang mursyid yang dianggap mampu mengajarkan tarekat kepada orang lain. Doa Kitab; Manuskrip; Khotbah; Santri. Hikmah; Syair; Humor; Ulama. Pengajian; Kisah; Karamah; Pesantren; Tag: Tarekat Naqsyabandiyah. Pustaka Manuskrip Silsilah Tarekat Qadiriah Naqsyabandiah (TQN) Jalur Periwayatan Syaikh Marzuqi Banten (w. 1913) di Makkah. Tarekat Qadiriah Naqsyabandiah (TQN) terhitung sebagai salah satu tarekat dengan cML2QhI. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free TAREKAT NAQSYABANDIYAH DAN SYADZILIYAH Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejararah Peradaban Islam Dosen Pengampu Dr. H. Reza Ahmad Zahid, Lc., Gus Reza Prof. Dr. Elfi Muawanah, Oleh M. AGUS WAHYUDI PROGRAM STUDI MAGISTER AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG 2021 TAREKAT NAQSYABANDIYAH DAN TAREKAT SYADZILIYAH M. Agus Wahyudi PENDAHULUAN Tasawuf merupakan salah satu seni beribadah dalam agama Islam. Secara umum pelaku tasawuf seringkali kehidupannya diwarnai dengan praktik pengamalan zikir, melakukan uzlah mengasingkan diri dan khalwat menyendiri dimana Tuhan menjadi prioritas utama dalam hidup tanpa melupakan tugas kemanusiaan dari manusia itu sendiri Wahyudi, 2020. Para penganut tasawuf memiliki sikap dalam menjaga jarak dengan duniawi untuk menghindari pengaruh negatif proses pemurnian diri mereka. Dari sini kemudian muncul pandangan bahwa ajaran tasawuf terkesan abai terhadap persoalan duniawi sosial, budaya, ekonomi, dan politik serta tidak memberikan kontribusi positif bagi kesejahteraan masyarakat. Dalam dinamika keilmuan tasawuf terdapat yang namanya tarekat, dalam bahasa Arab ةقيرط sebuah istilah yang ada dalam aliran-aliran tasawuf atau sufisme. Secara bahasa tarekat / ةقيرط berarti "jalan" atau "metode". Tarekat sebagai "jalan" harus dipahami secara khusus, sehubungan dengan istilah syariat yang juga memiliki arti "jalan". Diantara tarekat yang ada dalam dunia tasawuf diantaranya tarekat Qadiriyah dari ajaran Syaikh Abdul Qadir Jaelani, Suhrawardiyah Syihabuddin al-Suhrawardi, Rifa’iyah Ahmad Rifa’i, Syadziliyah Abu Hasan al-Syadzili, Naqsyabandiyah Muhammad Ibnu Bahauddin al-Uwaisi al-Bukhari, Badawiyah Ahmad al-Badawy dan lain-lain. Masing-masing tarekat memiliki ajaran, metode, jenis zikir, amalan yang variatif, sekaligus menjadi ciri khas dari setiap tarekat Bakri, 2020. Dalam makalah ini pembahasan akan di fokuskan pada dua jenis tarekat dalam tasawuf, yakni tarekat naqsabandiyah dan tarekat syadziliyah. Adapun cakupan pembahasan dalam makalah ini diantaranya, bagaimana pengertian dan sejarah perkembangan tarekat naqsabandiyah dan syadziliyah, apa saja yang menjadi ajaran tarekat naqsyabandiyah dan syadziliyah. PEMBAHASAN Tarekat merupakan jalan yang ditempuh oleh seseorang dalam menjauhkan diri dari segala yang dilarang oleh agama secara esoteris batiniah maupun eksoteris lahiriah. Tarekat sebagai tempat orang-orang dalam belajar tasawuf yang dipimpin oleh seorang syaikh atau mursyid. Sehingga dalam tasawuf terdapat beberapa varian tarekat yang memiliki ciri khas sebagai pembeda dengan tarekat yang lain, namun semua tarekat dalam tasawuf memiliki kesamaan tujuan yakni melakukan tazkiyatun nafs untuk mendekatkan diri kepada Pengertian Tarekat Naqsyabandiyah Tarekat naqsyabandiyah merupakan suatu tarekat yang diambil dari pendiri tarekat ini sendiri yang bernama Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi 1318-1389 M ia dilahirkan di desa Qasr-i-Hinduvan yang kemudian bernama Qasr-i Arifan di dekat satu ciri khas dari tarekat naqsyabandiyah yang pertama, diikuti syariat yang ketat, keseriusan dalam beribadah, sehingga muncul penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai zikir sirr zikir dalam hati. Kedua, zikir menjadi titik berat amalan penganut naqsyabandiyah, kalimat zikir yang dibaca diantaranya kalimat la ilaha illa Allah, dengan tujuan untuk mencapai kesadaran spiritual akan kehadiran Allah yang bersifat pengertian lain, istilah “Naqsyabandiyah” menurut Syekh Najmudin Amin Al-Kurdi dalam kitabnya “tanwirul qulub” sebagaimana yang dikutip oleh Fuad Said, berasal dari dua buah kata bahasa Arab, “Naqsy” dan “Band” artinya “ukiran atau gambar yang dicap pada sebatang lilin atau benda lainnya”. “Band” artinya “Bendera atau layar lebar”. Dengan demikian, “Naqsabandi” artinya ukiran atau gambar yang terlukis pada suatu benda, Sholihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung Pustaka Setia, 2008. H. 203. Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu tarekat, Solo Ramadhani, 1996. H. 23. Sri Mulyati, Mengenal dan memahami Tarekat-Tarekat Muktabarrah di Indonesia, Jakarta Kencana, 2004. H. 89-105. melekat, tidak terpisah lagi, seperti tertera pada sebuah bendera atau sepanduk. Dinamakan “Naqsyaqbandiyah”, karena Syekh Bahaudin pendiri tarekat ini senantiasa berzikir mengingat Allah berkepanjangan, sehingga lafadz “Allah” itu terukir melekat ketat dalam hatinya Said, 2007. B. Perkembangan Tarekat Naqsyabandiyah Tarekat sudah ada sejak masa Rasulullah. Hal ini berdasarkan fakta sejarah dengan melihat pribadi Rasulullah sebelum dilantik atau diangkat menjadi Nabi, beliau sebelumnya telah melakukan uzlah dan khalwat di Gua Hira’. Tahannust dan khalwat nabi merupakan proses dalam mencari ketenangan jiwa dan kebersihan yang dilakukan oleh nabi disebut dengan tarekat yang sekaligus diajarkan kepada Abu Bakar, kemudian Abu Bakar mengajarkannya kepada keluarga dan para sahabat sampai kepada Muhammad Baha’ al-Din al-Uwais al-Bukhari Naqsyabandiyah. Syaikh Naqsyabandi dalam penyebaran tarekat ini memiliki tiga orang khalifah yakni, Ya’qub Carkhi, Ala’ al-Din Athar dan Muhammad Parsa. Diantara tiga khalifah tersebut yang paling menonjol berasal dari khalifah Ya’qub Carkhi yang bernama Khawaja Ubaidillah Ahrar 1403-1490 M. Dalam perkembangannya, tarekat sebagai suatu organisasi keagamaan kaum sufi sudah banyak lahir dengan corak yang berbeda. Ini sudah berkembang pesat dan tersebar ke Asia Tenggara, Asia Tengah, Afrika Timur, Afrika Utara, India, Iran dan Turki. Perbedaan-perbedaan tersebut dalam realitasnya mengarah kepada tujuan yang sama, yaitu berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Karena tarekat merupakan sebuah organisasi yang lahir dari seorang syaikh mursyid yang berniat ingin melestarikan ajaran-ajaran kaum sufi maka masing-masing dari syaikh tersebut tentu punya cara tersendiri dalam pengembangannya tersebut Ada beberapa faktor yang mempengaruhi tarekat berkembang secara masif diantaranya a Sufi mempunyai kegemaran mengembara dari sustu tempat ke Sokhi Huda, Tasawuf Kultural Fenomena Wahidatul Wujud, Yogyakarta 2008. H. 21. Diakses 21/11/2021. tempat yang lain. Dalam setiap persinggahannya para sufi ini sennatiasa menyampaikan ajaran tarekat yang dianutnya. b Ajaran tarekat yang mudah dipahami dan tidak mensyaratkan bagi calon murid mempunyai tingkat intelektual yang tinggi. Di Indonesia, tarekat juga sudah mulai berkembang pada abad ke-13. Pada periode yang sama lahir 3 organisasi tarekat besar yang berkembang yaitu Qadiriyah, Naqsabandiyah dan Sattariyah. Kemudian disusul oleh tarekat Rifai’iah yang mengabadikan beberapa jenis kesenian rakyat Aceh. Penyebaran tarekat Naqsyabandiyah wilayah Indonesia khususnya di Jawa dilakukan oleh tiga murid Syekh Khatib Sambas, yaitu Syekh Abdul Karim Banten, Syekh Tolhah Cirebon, dan Kiyai Ahmad Hasbullah Madura. Syekh Abdul Karim Banten merupakan murid kesayangan Syaikh Ahmad Khatib Sambas di Mekah. Semula dia hanya sebagai khalifah Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah TQN di Banten, tahun 1876 diangkat oleh Syaikh Khatib Sambas menjadi penggantinya dalam kedudukan sebagai mursyid utama tarekat ini yang berkedudukan di Mekah. Dengan demikian semenjak itu seluruh organisasi TQN di Indonesia menelusuri jalur spiritualnya silsilah kepada ulama asal Banten tersebut. Khalifah dari Kia Tolhah Cirebon yang paling penting adalah Abdullah Mubarrok, belakangan dikenal sebagai Abah Sepuh. Abdullah melakukan baiat ulang dengan Abdul Karim Banten di Mekah. Pada dekade berikutnya Abah sepuh membaiat putranya Sohibul Wafa Tadjul Arifin yang lebih masyhur dengan panggilan Abah Anom. Hingga sekarang Abah Anom Masih menjadi mursyid tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Di bawah kepemimpinan Abah Anom ini, tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah di kemursyidan Suryalaya berkembang pesat. Dengan menggunakan metode riyadah dalam tarekat ini Abah Anom mengembangkan psikoterapi alternatif, terutama bagi para remaja yang mengalami degradasi mental karena penyalahgunaan obat-obat yang terlarang, seperti, morfin, heroin dan sebagainya. Sampai sekarang di Indonesia ada tiga pondok pesantren yang menjadi pusat penyebaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yaitu Pondok Pesantren Rejoso Jombang Jawa Timur, Pondok Pesantren Mranggen di Jawa Tengah, dan Pondok Pesantren Suryalaya di Tasikmalaya Jawa Barat. C. Ajaran Tarekat Naqsabandiyah Tujuan utama pendirian tarekat naqsyabandiyah oleh para sufi adalah untuk membina dan membina seseorang agar bias merasakan hakikat Tuhannya dalam kehidupan sehari-hari melalui perjalanan ibadah yang terarah dan sempurna. Dalam kegiatan ini biasanya seorang anggota diarahkan oleh tradisi-radisi ritual khas yang terdapat dalam tarekat naqsabandiyah sebagai upaya pengembangan untuk bisa menyampaikan mereka ke wilayah hakikat atau ma'rifat kepada Allah. Secara umum, tujuan utama tarekat naqsyabandiyah secara umum adalah penekanan pada kehidupan akhirat yang merupakan titik akhir tujuan kehidupan manusia beragama. Sehingga setiap aktivitas atau amal perbuatan selalu diperhitungkan, apakah dapat diterima atau tidak oleh Tuhan. Muhmmad Amin al-Qurdi salah seorang tokoh tarekat naqsyabandiyah menekankan pentingnya seseorang masuk ke dalam tarekat, agar bisa memperoleh kesempurnaan dalam beribadah kepada tuhannya. Dalam tarekat naqsyabandiyah terdapat yang namanya rukun enam. Keenam rukun tersebut adalah 1 Ilmu, maksudnya berilmu pengetahuan tentang segala yang berhubungan dengan agama; 2 Hilm, yaitu penyantun, lapang hati, tidak mudah marah yang bukan karena Allah; 3 Sabar atas segala cobaan dan musibah yang menimpa ketika dalam melaksanakan ibadah, taat kepada Allah; 4 Rida atau rela terhadap segala sesuatu yang ditakdirkan Allah; 5 Ikhlas dalam setiap amal dan perbuatan yang dilakukan; dan 6 Akhlak yang baik. Sedangkan enam kewajiban yang harus dikerjakan adalah 1 zikir kepada Allah; 2 Meninggalkan hawa nafsu yang menginginkan sesuatu; 3 meninggalkan segala perhiasan dunia dalam bentuk apa pun; 4 Melakukan ajaran agama dengan sungguh-sungguh; 5 Ihsan atau berbuat baik terhadap semua makhluk ciptaan Allah; dan 6 mengerjakan perbuatan-perbuatan yang baik dan meninggalkan hal-hal yang jahat. D. Sejarah Tarekat Syadziliyah Tarekat syadziliyah didirikan oleh Abu al-Hasan al-Syadzili. Selanjutnya nama tarekat ini dinisbatkan kepada namanya Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus yang berbeda dengan tarekat-tarekat yang lain. Secara lengkap nama pendirinya adalah Ali bin Abdullah bin Abd. Al Jabbar Abu al-Hasan al-Syadzili. Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan orang-orang garis keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan bearti keturunan siti Fatimah, anak perempuan dari Rasulullah SAW. Al-syadzili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut Ali bin Abullah bin Abd. Jabar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin ahmad bin Muhammad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Abu al-Hasan al-Syadzili dilahirkan di desa Ghumara, dekat Ceuta saat ini, di utara Maroko pada tahun 573 H. Adapun mengenai tahun kelahiran al-Syadzili terdapat beberapa pandangan diantaranya, Siraj al-Din al-Hafsh menyebut tahun kelahirannya 591 H./1069 M., Ibn Sabbah menyebutnya 583 H./1187 M.,dan Trimingham mencatat tahun kelahirannya al-Syadzili 593 H./1196 M. Pendidikan Abu al-Hasan al-Syadzili dimulai dari kedua orang tuanya, dan kemudian dilanjutkan kependidikan lebih lanjut, yang mana di antara guru kerohaniannya adalah ulama besar Abd al-Salam Ibn Masyisy H. / 1228 M., yang juga dikenal sebagai “Quthb dari Quthb para wali” seperti halnya Syekh Abd al-Qadir al-Jailani H./1166 M.. Setelah al-syadzili belajar lama di Tunis, ia pergi ke negara-negara Islam sebelah timur, di antaranya mengunjungi Makah dan melaksanakan ibadah haji beberapa kali, kemudian dari sana ia bertolak ke Irak. Dengan demikian, al-Syadzili mempunyai dua guru spiritual, karena sebelumnya telah mendapatkan pendidikan dai Abdullah Ibn Kharazim H./1236 M.. E. Ajaran Tarekat Syadziliyah Tarekat Syadziliyah muncul di belahan dunia Islam barat menuju Mesir, dan dari Mesir menyebar keberbagai macam penjuru kawasan Islam. Tarekat ini mucul sekitar tahun 642 H. Dalam buku Tasawuf Islam karya Abu Wafa al-Ghanimi al-taftazani, bahwa tasawuf syadzili, Mursi dan Abu Atha’illah merupakan pondasi-pondasi madrasah Syadziliyah. Tak satupun dari ketiga orang tersebut yang mengatakan tentang pemikiran wahdatul wujud itu. Di saat mereka jauh dengan Ibn Arabi, ternyata mereka sangat dekat dengan tasawuf al-Ghazali yang berpegangan pada al-kitab dal al-sunnah. Dalam buku tersebut juga dikemukakan perkataan-perkataan Syadzili dan Mursi yang diriwayatkan oleh Ibnu Atha’ilah dalam Lataiful Manan untuk menjelaskan posisi al-Ghazali dalam hati mereka semua, sebab mereka menyerukan kepada murid-muridnya untuk mengambil pelajaran dari al-Ghazali. Salah stunya adalah perkataan Syadzali kepada muridnya “Jika engkau ingin mengadukan kebutuhannmu kepada Allah, maka berwasilah mengambil perantara menujunya melalui Imam Abu Hamid al-Ghazali”. Kemudian ia juga berkata dengan nada memberikan sebuah nasehat “Kitab Ihya’ akan mewariskan kepadamu keilmuan kitab ”Qut” milik al-Makki akan mewariskan kepadamu sebuah cahaya. Ajaran-ajaran dalam tarekat Syadzaliyah bisa diringkas di dalam lima prinsip, yakni 1. Takwa kepada Allah di dalam kerahasiaan maupun di tempat terbuka. 2. Mengikuti sunnah dalam perkataan dan perbuatan. 3. Memalingkan diri dari makhluk di dalam kerahasiaan maupun tidak. 4. Rida terhadap Allah dalam hal yang sedikit maupun banyak. 5. Kembali kepada Allah di saat senang maupun susah. Dalam buku karya Annemarie Schimmel dalam bukunya yang berjudul Dimensi Mistik dalam Islam menjelaskan bahwa dalam tarekatnya, Syadzili tidak menekankan perlunya tapa brata meditasi atau kehidupan menyendiri dan juga tidak menganjurkan bentuk-bentuk dzikir tertentu yang disuarakan lantang. Setiap anggota tarekat wajib mewujudkan semangat tarekat di dalam kehidupan dan lingkungannya sendiri. Anggota tarekat Syadziliyah tidak diharapkan mengemis atau mendukung kemiskinan. Sebaliknya, sumber-sumber Mesir abad ke-14 dan ke-15 mengisahkan bagaimana tiap anggota tarekat ini menonjol dalam kerapian pakaian mereka, berbeda dengan sufi-sufi lainnya yang memenuhi jalan-jalan di daerah Kairo. Syadziliyah bahkan tidak memiliki sistem teori mistik yang mantap. Abu al-Hasan al-Syadzili sedikit sekali meninggalkan tulisan. Kecenderungannya menulis surat-surat perintah rohani di ambil alih oleh para pengikutnya yang kesohor. Doa besar yang disusunnya, berjudul Hizb al-Bahr, menjadi salah satu tulisan pengabdian yang paling dikenal. Dalam buku Tarekat-Tarekat Muktabarah karya Sri Mulyati menyatakan bahwa al-Syadzili tidak menuliskan ajaran-ajarannya dalam sebuah kitab karya tulis, di antara sebab-sebabnya adalah karena kesibukannya melakukan pengajaran-pengajaran terhadap muridnya yang sangat banyak dan sesungguhnya ilmu-ilmu tarekat itu adalah ilmu hakikat, oleh karena itulah akal manusia tidak mampu menerimanya. Ajaran-ajarannya dapat diketahui dari para muridnya misalnya tulisan Ibn Atha’illah al-Iskandari. Ketika al-Syadzili ditanya perihal mengapa ia tak mau menuliskan ajaran-ajarannya, maka ia menjawa, “Kutubi Ashabi” yang artinya “kitab-kitabku adalah sahabatku. Adapun pemikiran-pemikran tarekat Syadziliyah diantaranya adalah sebagai berikut 1. Tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan, dan kendaraan yang layak dalam kehidupan sederhana yang akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah SWT. Dan mengenal rahmat Ilahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. 2. Tidak mengabaikan dalam menjalankan syariat Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan al-Ghazali, yaitu suatu tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur’an dan al-Sunnah, mengarah pada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa tazkiyah al-nafs, dan pembinaan moral akhlaq, suatu tasawuf yang di nilai cukup moderat. 3. Zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Allah SWT. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. 4. Tidak ada larangan bagi salik untuk menjadi sultan yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Seorang salik boleh tetap mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia, tiada kesedihan ketika harta hilang dan tiada kesenangan berlebihan ketika harta datang. 5. Berusaha merespon apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan sepiritual yang dialami oleh banyak orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik. Al-syadzili menawarkan tasawuf positif yang ideal dalam arti bahwa disamping berupaya mencari “langit”, juga harus beraktifitas dalam realitas sosial di “bumi’’ ini. Beraktifitas sosial demi kemaslahatan umat adalah bagian integral dari hasil kontemlasi. 6. Dalam kaitannya dengan al-ma’rifah, al-Syadzili berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan ahli tarekat atau tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan. Pertama adalah mawahib atau ain al-jud sumber kemurahan Tuhan yaitu tuhan memberikannya dengan tanpa usaha dari manusia itu sendiri, melainkan Tuhan memilihnya sendiri tanpa adanya intervensi dari faktor lain. Kedua, adalah badzi al-majhud yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras yang dilakukan oleh maanusia. F. Perkembangan dan Aliran Tarekat Syadziliyah Tarekat Syadziliyah mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam alam Islam. Ia tersebar luas di seluruh kawasan, dan sampai hingga Andalusia. Tokoh-tokoh yang paling terkemuka adalah Ibn Ibad Randi, merupakan komentator al-Hikam Ibnu Athaillah. Di samping Mesir sebagai basis pengikutnya, ajaran tarekat ini tersebar luas ke Timur hingga mencapai Melayu, Afrika Barat, dan Negara-negara Islam lainnya. Al-Syadzili tidak meninggalkan karya-karya dalam ilmu tasawuf, begitu juga dengan murinya Abu Abas al-Mursi. Semua perkataan- perkataan keduanya tentang tasawuf, doa-doa, hizib-hizib, dan juga wasiat-wasiatnya, dikumpulkan oleh Ibnu Athaillah dan sekaligus ia adalah orang yang menulis biografinya. Sehingga dengan cara begitu, terjagalah peninggalan tarekat Syadzaliyah. Sempalan dari tarekat ini di antaranya tarekat Isawiyah. Dimana tarekat Isawiyah terkenal karena zikirnya disertai latihan kekebalan, yaitu dengan goresan pedang. Abu al-Hasan al-Syadzili hanya menulis kumpulan doa yang berjudul hizb al-Bahr. Namun amalan dan kehidupan para penganut tarekat ini sangat mengutamakan pengendalian diri dan ketenangan batin. Hal ini nampak karya dua orang guru penganut tarekat Syadziliyah ini, yaitu Tajudin ibnu Atha’illah al-Iskandari yang mengarang kitab al-Hikam dan Lathaif al-Minan, Ibnu Abbad dari Ronda yang jadi pensyarah kitab al-Hikam. Kitab al-Hikam ini juga terkenal di pondok-pondok pesantren di Indonesia. Mengenai pengaruh al-Syadzili kepada Ibn Athaillah, tampaknya dimungkinkan melalui dua cara, yaitu melalui al-Mursi dan hizb-hizb yang ditinggalkan al-Syadzili. Melalui dua cara inilah, Ibn Athaillah mewarisi ajaran sepiritual al-Syadzili. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa tulisan-tulisan Ibn Athaillah pada dasarnya adalah ajaran-ajaran al-Syadzili karena ia adalah pengikut dan pewaris al Syadzili, meski sudah tentu terdapat kekhasan tersendiri dala uraian-uraian atau tulisan-tulisan Ibn Athaillah. Para tokoh Syadziliyah pada awalnya tidak hanya menaruh perhatian pada pengajaran dan praktik tasawuf tetapi juga terhadap masalah-masalah akidah dan hukum Islam. Hal ini karena al-Syadzili sangat menekankan pentingnya pengetahuan agama bagi para pengikutnya. Mereka bermadzhab Sunni dan sekalipun tasawuf sendiri tidak menaruh perhatian pada dogma-dogma teologis, mereka cenderung untuk memilih madzhab Asy’ariyyah dalam bidang ilmu kalam. Namun madzhab Asy’ariyyah yang mereka ikuti kemungkinan besar yang sudah dipengaruhi oleh ajaran-ajaran al-Ghazali. Dalam perkembangannya, selanjutnya muncul cabang-cabang dalam tarekat Syadzilyah. Pada abad ke-8 H./14 M. di Mesir muncul sebuah cabang yang akhirnya dinamakan Wafaiyyah, yang di dirikan oleh Syams al-Din Muhammad bin Ahmad Wafa H./1359 M. yang juga dikenal dengan Bahr al-Shafa, ayah dari tokoh terkenal Ali Ibn Wafda H/1404 M. Disamping cabang itu, muncul cabang-cabang lainnya yaitu hanafiyyah, Jazuliyyah, Isawiyyah, Tihamiyyah, Darqawiyyah, dan sebagainya. Mereka muncul akibat penyesuaian dan adptasi kembali pesan-pesan asli tarekat Syadziliyyah. Kemunculan mereka seringkali disebabkan oleh tuntutan lingkungan sosial yang membutuhkan respons dalam hubungannya dengan para sufi. Berdasarkan ajaran yang diturunkan al-Syadzili kepada muridnya, kemudian terbentuklah tarekat yang dinisbatkan kepadanya, yaitu tarekat Syadziliyah. Tarekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Mesir, Al-jazair, Sudan, Suriah dan Semenanjung Arabia, juga di Indonesia khususnya di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dalam hal ini yang menarik, sebagaimana dicatat oleh Victor Danner-peneliti Tarekat Syadziliyyah adalah bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat di daerah Timur Mesir, namun awal perkembangannya adalah dari Barat Tunisia. Dengan demikian, peran daerah maghrib dalam kehidupan spiritual tidak sedikit. Menurut Danner, perannya sejak abad ke-7 H./13 M. Sangatlah jelas. Banyak tokoh sufi yang sezaman dengan al-Syadzili yang menetap di Timur, misalnya Abu Madyan Syu’aib al-Maghribi w. 594 H./1197 M., Ibn al-Arabi H./1240 M. Abd as-Salam Ibn Masyisy w. 625 H./1228 M. Ibn Sab’in w. 669 H./1271 M. dan as-Syusyturi w. 688 H./1270 M. itu berasal dari daerah Maghrib. Walaupun dasar-dasar tasawuf Maghribi itu berasal dari Timur sebagai asal muasal Islam itu sendiri, namun kecerdasan muslim daerah Barat, gaya hidupnya, seni kaligrafinya, arsitektur masjidnya, juga madzhab Malikinya, telah ada sejak generasi Islam awal. Ciri umum ini mendapat penguatan bersamaan dengan berdirinya dinasti Abasiyyah pada abad ke-2 H./8 M. Dan mulai mengembangkan kebiasaannya sendiri. Inilah atsmosfir yang melatarbelakangi berdirinya tarekat Syadziliyah pada abad ke-7 H/13 M., yang mengembangkan kebebasan berpikir, kemajuan ilmu pengetahuan, peradaban dan perekonomian. Kemudian pergerakan tarekat Syadziliyah dari maghribi ke Timur merupakan sebuah uapaya penguatan kembali semangat tasawuf di daerah Timur, khususnya di wilayah Arab. Ini berartitarekat Syadziliyah memerankan peranan penting di tengah kemunduran umat Islam. Oleh karena itu, tarekat ini tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan Tunisia dan Alexandria tetapi kemudian juga memilki pengikut yang luas di daerah pedesaan. Bergabungnya tokoh terkenal daerah Maghribi pada abad ke-10 H./16 M., Ali al-Shanhaji dan Muridnya Abd al-rahman al Majdzub adalah bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dahulu tarekat ini telah di ikuti oleh sejumlah intelektual terkenal, misalnya ulama terkenal abad ke-9 H./15 M., Jalal al-Din al-Suyuti. Sepeninggal al-Syadzili, kepemimpinan tarekat ini di teruskan oleh Abu al-Abbas al-Mursi yang ditunjuk langsung oleh al-Syadzili. Nama lengkapnya adalah Ahmad Ibn Umar Ibn Ali al-Anshari al-Mursi, terlahir di Murcia, Spanyol pada 616 H. / 1219 M. Dan meninggal pada 686 H. / 1287 M., di Alexandria. KESIMPULAN Tarekat merupakan salah satu tempat dimana seseorang belajar tasawuf, meskipun secara maknawi tarekat itu sendiri sudah ada sejak zaman Rasulullah, sebagaimana yang Rasulullah lakukan ketikan di gua hira melakukan uzlah dan khalwat, sehingga mendapatkan wahyu dari Allah melalui malaikat jibril. Seiring berkembangnya waktu, muncul beberapa tarekat dengan ciri khas masing-masing sesuai dengan bagaimana karakter dari syaikh / mursyid tersebut. Namun tujuan utama tarekat adalah berusaha membersihkan diri dan mendekatkan diri kepada Allah. Tarekat naqsyabandiyah dan tarekat syadziliyah merupakan salah satu tarekat awal dalam kesejarahan tasawuf, kedua tarekat ini memiliki perbedaan dalam praktik ajarannya. Tarekat naqsyabandiyah lebih cenderung berhati-hati dalam menyikapi urusan duniawi, sedangkan tarekat syadziliyah lebih cenderung longgar dalam menyikapi urusan duniawi. Mengenai perkembangan Islam sendiri, tarekat atau tasawuf memberikan sumbangsih dalam menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang adaptif dan damai, sehingga Islam sendiri dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Bakri, S. 2020. Akhlaq Tasawuf Dimensi Spiritual dalam Kesejarahan Islam. Surakarta EFUDE Press Bruinessen, V. Martin. 1992. Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia. bandung Mizan Mulyati, S. 2005. Mengenal dan memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. JakartaKencana Nizami, K. A. & Sayyed Hossein Nasr Ed. 1997. Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi. Bandung Mizan Supiana & M. Karman. 2003. Materi Pendidikan Agama Islam, Bandung PT. Remaja Rosdakarya Wahyudi, M. A. 2020. Psychological Well-Being Sufism Practitioners as A Sufistic Conceling. Jurnal Konseling Religi, 11, 01. 145-157. Fuad Said 2007. Hakikat Tarekat Naqsabandiyah. Jakarta Pustaka Al-Husna Abu Rabi, Ibrahim M. The Mystical Teachings of al-Shadzili. New York State University of New York Press, 1993. al-Taftazani, Abu al-Wafa al-Ghanimi. Al-Madkhal ila al-Tasawwuf al-Islam. Sufi dari Zaman ke Zaman. Terj. Ahmad Rofi Usman. Jakarta Penerbit Pustaka, 1985. Arberry, Sufism an Account of The Mystics of Islam. London George Allen and Unwin Ltd., 1979. Haeri, Syekh Fadhlalla. The Elements of Sufism. New York Element Inc, 1993. Ibn al-Sabbagh. The Mystical Teaching of al-Syadzili, Durrat al-Asrar wa Tuhfat al-Abrar. Terj. Elmer H. Douglas. New York State University of New York Press. Lings, Martin. Syekh Ahmad Alawy, A Sfi Saint of the Twentieth Century. London George Allen and Unwin Ltd., 1971. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. M. Agus WahyudiTaufik TaufikEny PurwandariPsychological well-being is a term used to describe the psychological health of individuals who have a optimal and have a meaningful life. This research aimedat the psychological well-being of Sufism practitioners and make Sufism values a Sufistic counseling. This reasearch used interview and observation methods for collection data. In this research there were six informants, in identifying informants used purposive techniques and snowball sampling. The results found, there are four values of Sufism that affect the conditions of psychological well-being, namely the teachings of zuhud, tawakal, khauf, and mahabbah. Sufism teachings such as zuhud, tawakal, khauf, mahabbah also become media as Sufistic dan memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di IndonesiaS MulyatiMulyati, S. 2005. Mengenal dan memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia. JakartaKencanaFuad SaidFuad Said 2007. Hakikat Tarekat Naqsabandiyah. Jakarta Pustaka Al-HusnaThe Mystical Teachings of al-ShadziliAbu RabiM IbrahimAbu Rabi, Ibrahim M. The Mystical Teachings of al-Shadzili. New York State University of New York Press, an Account of The Mystics of Islam. London George Allen and Unwin LtdA J ArberryArberry, Sufism an Account of The Mystics of Islam. London George Allen and Unwin Ltd., HaeriFadhlallaHaeri, Syekh Fadhlalla. The Elements of Sufism. New York Element Inc, Ahmad Alawy, A Sfi Saint of the Twentieth CenturyMartin LingsLings, Martin. Syekh Ahmad Alawy, A Sfi Saint of the Twentieth Century. London George Allen and Unwin Ltd., 1971. MANAQIB SILSILAH EMAS THARIQAT AL KABIR SYEKH KHALID AL KURDI AL BAGHDADI Khalid Al-Baghdadi adalah mursyid Tariqat Naqsyabandiyah ke-31, penerus rahasia Tariqat Naqsyabandi dari Syaikh Abdullah Ad-Dahlawi. Dia menyebarkan ilmu-ilmu syariat dan tasawuf, seorang mujtahid dalam hukum ilahi syari’at dan realitas ilahi hakikat.Dia dianggap cendekiawan para cendekiawan dan wali para wali, sehingga diibaratkan laksana cahaya bulan purnama dalam aliran Thariqat Naqsyabandi, pusat lingkaran lahir pada tahun 1193 H/1779 M di Desa Karada, Sulaymaniyyah, Irak. Karena keturunan Sayyidina Utsman bin Affan, khalifah ketiga, dia berhak menyandang gelar “Utsmani”.Dia tumbuh dan belajar di sekolah-sekolah dan masjid yang tersebar di kota tersebut. Pada saat itu Sulaymaniyyah merupakan kota pelajar utama. Dia mempelajari Al-Qur’an dan tafsir Imam umur 15 tahun dia menetapkan asketisisme, doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa seseorang bisa mencapai posisi spiritual yang tinggi melalui disiplin diri dan penyangkalan diri yang ketat sebagai falsafah hidupnya, kelaparan sebagai kudanya, tetap terjaga tidak tidur sebagai jalannya, khalwat sebagai sahabatnya, dan energi spiritual sebagai berguru kepada dua cendekiawan besar, Syaikh Abdul Karim Al-Barjanzi dan Syaikh Abdur Rahim Al-Barjanzi, sebelum akhirnya mempelajari matematika, filosofi, dan logika di kota ia kembali ke Baghdad dan mempelajari Mukhtasar al-Muntaha fil-Usul, sebuah ensiklopedia tentang yurisprudensi, dan mempelajari karya-karya Ibnu Hajar, Suyuti, dan Haythami. Dia dapat menghafal tafsir Al-Qur’an dari Baydawi dan mampu menemukan pemecahan atas segala pertanyaan pelik mengenai tafsir. Dia hafal Al-Qur’an dengan 14 cara membaca yang berbeda, dan ini merupakan kelebihannya sehingga membuatnya sangat menguasai ilmu-ilmu umum, dia kembali ke Sulaymaniyyah dan mengajar ilmu-ilmu modern. Meneliti dan menelaah persamaan-persamaan yang sulit di bidang astronomi dan kimia di sekolah Abdul Karim Al-Barzanji menyusul wabah penyakit yang melanda kota itu pada tahun 1213 H/1798 dia berkhalwat, meninggalkan segala yang telah dipelajari, datang ke pintu Allah dengan segala keshalihan dan memperbanyak dzikir. Lalu dia meninggalkan segalanya dan pergi ke Hijaz, menemui para cendekiawan, dan mengikuti Syaikh Muhammad Al-Kuzbara, seorang ahli ilmu-ilmu kuno dan modern dan pengajar hadits yang memberinya otorisasi terhadap Thariqat perjalanan menuju Makkah, seorang syaikh menasehatinya agar tidak berkeluh kesah atas segala masalah yang mungkin bertentangan dengan syari’at ketika memasuki kota Makkah. Pada hari Jum’at, ketika duduk dekat Ka’bah dan membaca Dala’il al-Khayrat, dia melihat seseorang dengan jenggot hitam bersandar pada sebuah pilar, menatap dirinya. Ia merasa, orang itu tidak layak berlaku demikian, apalagi di depan Ka’ itu melihat Khalid dan menegurnya, “Hei orang bodoh, apakah kamu tidak tahu bahwa kemuliaan hati seorang mukmin jauh lebih berarti daripada keistimewaan Ka’bah? Mengapa kamu diam-diam mengkritik aku. Apakah kamu tidak mendengar nasihat syaikhku di Madinah agar tidak mengkritik sesuatu?”Syaikh Khalid minta maaf, mencium tangan dan kakinya dan minta bimbingannya. Dia mengatakan, “Wahai anakku, harta dan kunci hatimu bukan disini, melainkan di India. Syaikhmu berada di sana. Pergilah kesana, dia akan menunjukkan apa yang harus kamu lakukan.”*MENYATU DENGAN ILAHI*Syaikh Khalid pindah ke India pada tahun 1224 H/1809 M. Dalam perjalanan ke anak benua Asia itu, dia bertemu Isma’il al-Kashi, mengunjungi makam Guru dari Induk Segala Thariqat di Bistam, Syaikh Bayazid Al-Bistami, mengunjungi Sayyid Al-Jalal al-Ma’nas al-imam Ali Rida, dan mengunjungi Syaikh Ahmad An-Namiqi Herat, Afghanistan, Kandahar, Kabul, dan Peshawar, semua cendekiawan besar yang ditemuinya selalu menguji pengetahuannya tentang hukum Ilahi syariat dan kesadaran ilahi ma’rifat, ilmu-ilmu logika, matematika, dan astronomi. Mereka menyebutnya seperti sungai yang luas, mengalir dengan ilmu, atau seperti samudera tanpa di Lahore, ia bertemu Syaikh Thana’ullah An-Naqsyabandi dan meminta doa. “Malam itu aku mimpi bahwa Syaikh Thana’ullah An-Naqsyabandi menarikku dengan giginya. Ketika aku terbangun dan ingin mengatakan mimpiku itu kepadanya, dia mengatakan, Jangan ceritakan mimpi itu kepadaku, kami telah mengetahuinya’.Lalu aku mulai merasakan daya tarik spiritual dari Syaikh Abdullah Ad-Dahlawi. Aku meninggalkan Lahore, menyeberangi pegunungan dan lembah, hutan dan padang pasir, sampai tiba di Kesultanan Delhi, yang dikenal dengan Jenahabad. Perjalanan itu memakan waktu satu tahun 40 hari. Sebelum aku tiba, dia berkata kepada para pengikutnya, Penerusku akan datang.”Sesampai di kota Jehanabad dia memberi penghormatan kepada Syaikhnya dengan puisi yang sangat elok. Semua barang yang dibawanya dan segala yang ada di kantungnya diserahkan kepada fakir miskin. Kemudian dia melakukan bai’at dengan Syaikh Abdullah Ad-Dahlawi. Di sini dia mencapai perkembangan yang pesat dalam berperang melawan egonya. Tidak sampai lima bulan dia telah menjadi salah seorang yang menyatu dengan ilahi dan mempunyai penglihatan Syaikh Abdullah, dia diizinkan kembali ke Irak dan memberinya otoritas tertulis dalam 5 thariqat Thariqat Naqsyabandi, atau Rantai Emas, Thaqiqat Qadiri, Thariqat As-Suhrawardiyyah, Thariqat Kubrawiyya, dan Thariqat masanya, Baghdad sangat terkenal dengan ilmu pengetahuan, sehingga kota itu dinamakan “Tempat Dua Matahari”.Dia sendiri dikenal dengan sebutan “ Orang dengan Dua Sayap” zhuljanahain, sebuah perumpamaan karena penguasaannya di bidang ilmu lahir dan ilmu batin. Dia mengirimkan kalifahnya ke mana saja, mulai dari Hijaz ke Irak, dari Syam Syria ke Turki, dari Iran ke India dan Transoxania, untuk menyebarkan jalan leluhurnya dalam Thariqat mana pun dia pergi, orang akan mengundang ke rumahnya. Dan rumah seperti apapun yang dia kunjungi, akan mendapat berkah dan menjadi hari, ketika mengunjungi Kubah Batu di Yerussalem dengan para pengikutnya, Abdullah Al-Fardi datang menemuinya dengan kerumunan orang. Beberapa orang Kristen memintanya untuk masuk ke Gereja Kumama agar mendapat berkah dengan pergi lagi ke Hijaz untuk mengunjungi Baitullah pada tahun 1241 H/1826 M. Warga kota dengan para cendekiawan dan wali mendatangi dan melakukan bai’at dengannya. Mereka memberi kunci untuk memasuki dua Kota Suci dan mengangkatnya sebagai Syaikh Spiritual untuk kedua kota berhaji dan kunjungannya kepada Rasulullah, dia kembali ke Syam. Di sini dia disambut 25 ribut orang di pintu kota, pertanda bahwa Sultan Ottoman, Mahmud Khan, juga sangat menghormati dirinya. Semua cendekiawan, menteri, syaikh, fakir miskin, dan orang-orang kaya datang untuk mendapatkan berkah dan meminta do’a darinya. Para penyair melantunkan syair mereka, sementara itu orang kaya memberi makan yang miskin. Semua orang adalah sama di hadapan beliau. Dia membangkitkan pengetahuan spiritual dan pengetahuan lahiriah dan menyebarkan cahaya kepada semua orang, baik Arab maupun non-Arab, yang datang dan menerima Thariqat Naqsyabandi sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan 1242 H/1827 M, ia memutuskan untuk mengunjungi Quds Yerusalem dari Damaskus. Mungkin itu adalah suatu tanda bahwa ia akan meninggalkan dunia hari pertama bulan Syawwal, wabah penyakit menyebar dengan cepat di kota Syam Damaskus. Salah seorang pengikutnya minta Syaikh Khalid mendoakan dia agar diselamatkan dari wabah tersebut, dan menambahkan, “… untukmu juga, Syaikh.”“Aku malu kepada Allah, karena niatku memasuki Syam adalah untuk meninggal di tempat ini.”Orang pertama yang meninggal karena wabah ini anaknya sendiri, Bahauddin, pada Jum’at malam.“Alhamdulillah, ini adalah jalan kita,” katanya. Lalu anak itu dikuburkan di Gunung Qasiyun. Dia baru berusia lima tahun lewat beberapa hari. Anak itu sangat fasih dalam 3 bahasa Persia, Arab, dan Kurdi. Dia juga pandai membaca Al-Qur’ hari kemudian, anak lainnya, Abdurrahman, juga meninggal dunia. Dia lebih tua satu tahun. “Banyak pengikutku yang akan meninggal dunia,” katanya. Lalu dia menunjuk Syaikh Isma’il Ash-Shirwani untuk menggantikannya di Thariqat Naqsyabandi di wilayah syam palestina sedangkan di hijaz mekkah syekh khalid al baghdadi menunjuk khadam beliau yaitu mawlana syekh abdullah affandi untuk menjadi Syekh mursyid di kedua kota suci yaitu mekkah dan madinah untuk membimbing orang-orang di kota hijaz menuju khadirat ALLAH.. Saat itu adalah tahun 1242 H/1827 sendiri akhirnya wafat pada hari Jum’at 13 Dzulqaidah 1242 H/1827 M setelah sebelumnya membaca ayat 27-30 dari surah Al-Fajr, “Wahai jiwa yang tenang dan tenteram, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku! Masuklah ke dalam syurga-Ku!”Sehari sebelumnya, kamis, dia telah mengisyaratkan banyak hal kepada keluarganya, seperti bahwa dirinya akan wafat besok harinya dengan membawa seluruh wabah yang menerjang Damaskus, nisannya tidak boleh ditulis macam-macam kecuali Ini adalah makam orang asing, berikutnya, Sabtu, terjadi keajaiban di Syam. Wabah penyakit tiba-tiba Melalui jalur mawlana syekh abdullah affandi thariqat naqshabandiyah tersebar sampai ke indonesia yang mayoritas penganut thariqat naqsyabandiyah al khalidiyah nisbah dari mawlana syekh khalid al baghdadi al kurdi Photo Makam syekh khalid al kurdi al baghdadi QSDi syam Palestina. Sumber dari THORIQAT NAQSYABANDIYAH JAKARTA - Tarekat Naqsyabandiah tersebar ke berbagai penjuru dunia Islam dan mendapat banyak pengikut. Di Indonesia, penyebaran tarekat ini terutama terjadi pada abad ke-19 melalui jamaah haji dan pelajar-pelajar Indonesia di abad ke-19, di Makkah terdapat sebuah pusat Tarekat Naqsyabandiah di bawah pimpinan Sulaiman Zuhdi. Saat itu sekitar tahun 1837 Tarekat Naqsyabandiah sedang berkembang pesat di Arab Saudi. Markasnya terletak di kaki gunung Abu Qubaisy Jabal Qubaisy. Setelah Sulaiman Zuhdi berpulang, silsilah ketarekatan dilanjutkan oleh putra beliau, Ali Ridla. Ketika kepemimpinan berada di tangan Sulaiman Zuhdi inilah ada sejumlah murid yang berasal dari nusantara, terutama Sumatra dan Jawa. Di antaranya Sulaiman Hutapungkut dari Kota Nopan, Tapanuli Selatan, dan Muhammad Hadi Girikusumo dari Demak, Jawa Tengah. Mereka berdua yang pertama kali mengenalkan ajaran Tarekat Naqsyabandiah di J Spencer Trimingham pernah menyebutkan bahwa sekitar tahun 1845, seorang syekh Naqsyabandiah dari Minangkabau dibaiat di Makkah. Menurut Snouck Hurgronje, penasihat Pemerintah Hindia Belanda, Tarekat Naqsyabandiah yang dipimpin oleh Sulaiman Zuhdi di Makkah mempunyai banyak pengikut yang berasal dari berbagai daerah seperti Turki, Hindia Belanda, dan Malaysia. Sulaiman Hutapungkut sekembali dari Jabal Qubaisy mengembangkan tarekat ini di Sumatra. Kepemimpinan beliau kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya, Muhammad Hasyim al-Khalidi. Sebagai kelanjutan pendidikannya, Muhammad Hasyim diperintahkan oleh gurunya, Sulaiman Hutapungkut, untuk berguru kepada Ali Ridla di Jabal Qubaisy. Dikabarkan Muhammad Hasyim tekun menuntut ilmu, mendalami syariat dan hakikat, serta memperoleh Muhammad Hadi Girikusumo mensyiarkan ajarannya di Demak dan sekitarnya dengan mendirikan Pondok Pesantren Girikusumo pada 1836. Pesantren Girikusumo pada awal didirikannya fokus pada kajian ilmu tasawuf. Kemudian berkembang menjadi pesantren salaf, yang tidak cuma mengajarkan tasawuf, tetapi juga mengajarkan kitab-kitab kuning, seperti halnya pesantren salaf lain di versiTarekat Naqsyabandiah di Indonesia terus berkembang dan mengambil bentuk yang tidak sama persis dengan daerah asalnya. Secara garis besar dikenal dua versi Tarekat Naqsyabandiah, yakni Tarekat Naqsyabandiah Khalidiah dan Tarekat Naqsyabandiah Muzhariyah. Tarekat Naqsyabandiah Khalidiah berkembang luas di wilayah Sumatra. Sementara Tarekat Naqsyabandiah Muzhariyah berkembang di luar wilayah bawah kepemimpinan Hasyim al-Khalidi, Naqsyabandiah menjadi Tarekat Naqsyabandiah Khalidiah. Penyebarannya mulai dari daerah asalnya, Simabur Batusangkar, Sumatra Barat, kemudian ke wilayah Kerajaan Langkat dan Deli, hingga ke Kerajaan al-Khalidi mengangkat Kadirun Yahya Muhammad Amin al-Khalidi sebagai mursyid menggantikan dirinya. Di bawah kepemimpinan Syekh Kadirun Yahya ini penyebaran Naqsyabandiah Khalidiah semakin luas, bahkan murid-muridnya ada yang berasal dari Amerika. Maka, untuk memudahkan pengorganisasian, terkait aktivitas sosial-kemasyarakatan, dibuatlah wadah yayasan yang diberinama Yayasan Prof Dr H Kadirun Yahya. Sedangkan ajaran tarekat yang dikembangkannya, dipopulerkan oleh murid-muridnya sebagai Tarekat Naqsyabandiah Yayasan Prof Dr H Kadirun Yahya. Adapun Tarekat Naqsyabandiah Muzhariyah bersumber dari Muhammad Saleh az-Zawawi. Penyebaran tarekat ini sangat luas hingga ke berbagai penjuru dunia. Muridnya sangat banyak, antara lain, Syekh Abdul Murad Qazani Turki, yang menurunkan ulama Tarekat Naqsyabandiah, yakni Abdul Aziz bin Muhammad Nur yang berasal dari Pontianak, Ja'far bin Muhammad dari Kampung Tanjung Pontianak, Ja'far bin Abdur Rahman Qadri dari Kampung Melayu Pontianak, dan Abdul Azim Manduri dari Madura yang berjasa besar menyebarkan tarekat ini di wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Barat. sumber Pusat Data Republika

doa silsilah tarekat naqsyabandiyah